Selasa, 11 Januari 2011

Pembiayaan Pembangunan Proyek Mata Air Umbulan

Air di Kali Surabaya merupakan bahan baku dari PDAM yang didistribusikan untuk masyarakat di Wilayah Surabaya, Gresik dan Sidoarjo. Namun, Tingkat pencemaran air di Kali Surabaya semakin lama semakin meningkat, sehingga kualitas air yang ada menurun dan menyebabkan keterbatasan ketersediaan air bersih untuk masyarakat. Agar krisis air tidak semakin parah, Pemerintah Provinsi Jawa Timur berusaha mencari jalan keluar melalui pemanfaatan mata air umbulan yang terdapat di Desa Umbulan, Kecamatan Winongan, Kabupaten Pasuruan. Mata air Umbulan dipilih karena mata air ini memproduksi 4.000 liter/detik dan dapat memenuhi kebutuhan air bersih untuk 1,8 juta jiwa. Rencana ini sudah ada sejak 40 tahun yang lalu. Namun, hingga saat ini proyek tersebut belum terealisasikan. Dana yang dibutuhkan untuk pembangunan proyek umbulan ini sebesar Rp 2,2 triliun hingga Rp 2,5 triliun. Dana ini sangat besar sehingga pembangunan proyek air umbulan memerlukan anggaran dari pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah daerah terkait selain itu juga dibutuhkan adannya kerjasama dengan pihak swasta. Menurut Dirjen Cipta Karya, Rencannya pembiayaan tersebut akan di sharing 50% pemerintah dan 50% swasta namun ketentuan ini dapat berubah apabila pihak investor siap membangun dengan nilai investasi seperti yang dirancang sebelumnnya sehingga pihak pemerintah tidak perlu mengeluarkan subsidi.

Pembangunan  proyek mata air Umbulan dimulai akhir 2010 dan ditargetkan selesai 2013 mendatang. Gubernur Jatim Soekarwo mengatakan, biaya pembangunan transmisi Proyek Umbulan sebesar Rp 1 triliun sudah disanggupi pemerintah pusat melalui APBN. Sisanya Rp 750 miliar hingga Rp 800 miliar akan ditanggung pemerintah daerah (Kota Surabaya,Kab. Gresik,Kab. Sidoarjo,kota Pasuruan dan Kab Pasuruan ) dan investor. Dengan pemberian subsidi pemerintah pusat senilai Rp 1 triliun, harga jual air ke Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM) akan lebih murah. Subsidi dari pemerintah pusat ini diharpkan mengurangi mahalnya harga jual air

Jika dilihat dari tingkat urgensinya, proyek ini sangat direkomendasikan untuk direalisasikan secepatnya karena air bersih merupakan masalah utama di Surabaya dan sekitarnya, Guna menyiasati kebutuhan bahan baku air, PDAM Surabaya melirik Umbulan sebagai alternatif pada tahun 2013. Untuk proyek itu, PDAM Surahaya siap mengucurkan investasi Rp 400 miliar untuk membangun Instalasi Pengolahan Air Minum (IPAM) dari Umbulan menuju Kota Surabaya. Tindakan kerjasama yang dilakukan pemerintah dalam pembagian pembiayaan pembangunan proyek mata air umbulan adalah tindakan yang tepat. Mengingat besarnya dana yang diperlukan dalam pembangunan proyek ini sehingga diperlukan peran serta swasta dalam pembiayaannya,hal ini juga dilandasi oleh Peraturan Presiden No 67 Tahun 2005 tentang Pengaturan Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (Swasta) dalam Penyediaan Infrastruktur,  namun pemerintah harus tetap menjaga fungsi kontrolnya terhadap pihak swasta sehingga dalam pembangunan infratruktur yang merupakan public service obligation dari pemerintah, pemerintah sebagai pelaksana pengemban amanat rakyat mampu memberikan pelayanan yang maksimal. Selain itu, mengingat air yang dalam hal ini termasuk ke dalam kategori tool goods, Pemerintah berkewajiban untuk menentukan standar minimum pelayanan dan harga tool goods ini agar kepentingan masyarakat terlindungi dan tidak dibebani dengan biaya yang tinggi. Lingkup dari pihak swasta juga harus diperhatikan apakah hanya sebatas pemberian dana kepada pemerintah (pendanaan) atau sampai ke tahap pengoperasian sehingga diharapkan dengan semakin jelasnya posisi masyarakat, pemerintah dan pihak swasta proses pembangunan daerah akan semakin lancar, guna mencapai tujuan bersama yaitu rakyat adil dan makmur.




Selasa, 01 Juni 2010

Evaluasi Pemekaran Daerah

Konsep & Metoda Evaluasi
a. Kerangka Konseptual Evaluasi Pemekaran Daerah

Studi ini akan melakukan evaluasi berdasarkan tujuan pemekaran yang telah diuraikan sebelumnya. Dalam PP 39/20061, definisi evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan standard. Landasan evaluasi pemekaran daerah didasarkan atas tujuan pemekaran daerah itu sendiri, yang tertuang dalam PP 129/2000.
Ada dua hal penting yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yaitu:
• Bagaimana pemerintah melaksanakannya, aspek yang dikaji adalah sejauh mana ‘input’ yang diperoleh pemerintah daerah pemekaran dapat digunakan semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya, aspek yang dievaluasi adalah keuangan pemerintah daerah dan aparatur pemerintah daerah. Kedua aspek tersebut sangat dominan pengelolaannya oleh pemerintah daerah. Upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui enam cara di atas akan sulit direalisasikan tanpa adanya keuangan dan aparatur yang melaksanakannya
• Bagaimana dampaknya di masyarakat setelah pemekaran tersebut berjalan selama lima tahun, melihat kondisi yang langsung diterima oleh daerah dan masyarakat, baik sebagai dampak langsung pemekaran daerah itu sendiri maupun disebabkan karena adanya perubahan sistem pemerintahan daerah. Oleh karena itu evaluasi ‘output’ akan difokuskan kepada aspek kepentingan utama masyarakat dalam mempertahankan hidupnya, yakni sisi ekonomi. Apabila kondisi ekonomi masyarakat semakin membaik, maka secara tidak langsung hal ini berpengaruh kepada akses masyarakat terhadap pelayanan publik, baik pendidikan maupun kesehatan. Di sisi lain, pelayanan publik juga mencerminkan sejauh mana pemerintah daerah mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat serta kondisi umum daerah itu sendiri.

Hal ini harus dilakukan melalui belanja aparatur maupun belanja modal. Pada akhirnya hal ini akan kembali kepada siklus keuangan daerah melalui penerimaan pajak dan retribusi, juga kembali ke masyarakat melalui pelayanan publik yang diterimanya (Gambar 1).
Untuk memperjelas gambar silakan klik gambar

Untuk melihat perkembangan suatu daerah pemekaran, diperlukan adanya perbandingan kinerja daerah tersebut sebelum dan sesudah pemekaran. Dari hal ini akan terlihat, apakah terjadi perubahan (kemajuan) yang signifikan pada suatu daerah setelah dimekarkan. Pendekatan semacam ini dapat dianggap kurang tepat bila tidak ada pembanding yang setara. Oleh sebab itu dilakukan pula perbandingan antara daerah yang mekar dan daerah yang tidak melakukan pemekaran (prinsip treatment-control). Di samping itu, perbandingan dapat dilakukan antara daerah induk dan DOB sehingga dapat dilihat bagaimana dampak yang terjadi di kedua daerah tersebut setelah pemekaran. Perbandingan juga dilakukan terhadap perkembangan rata-rata daerah kabupaten/kota dalam satu propinsi yang sama. Hal ini dimaksudkan untuk melihat secara umum kondisi daerah DOB, daerah induk. maupun daerah sekitarnya.
b. Fokus Evaluasi dan Indikator
Setiap aspek yang dievaluasi akan diwakili oleh beberapa indikator dan sebuah indeks. Indeks tersebut pada intinya adalah rata-rata tertimbang dari seluruh indikator pada aspek yang bersangkutan. Untuk menghilangkan dampak dari ‘satuan’, maka indeks akan dihitung berdasarkan nilai masing-masing indikator yang telah distandardisasi. Ada pun indikatornya dapat dijelaskan sebagai berikut :
Tabel 2.1
Kriteria, Indikator dan Evaluasi Kinerja Program Pemekaran Daerah



Untuk memperjelas tabel silakan klik tabel


2. Metodologi Pemilihan Sampel
Studi ini menggunakan metodologi treatment-control untuk mengevaluasi kinerja dan kondisi daerah otonom baru. Daerah baru hasil pemekaran dianggap sebagai daerah yang mendapatkan perlakuan kebijakan atau treatment. Oleh sebab itu dari awal perlu diidentifikasi daerah ‘sebanding’ lainnya yang tidak dimekarkan (artinya tidak mendapat perlakuan dan kebijakan pemekaran ini),
Adapun proses pemilihan sampel dapat dideskripsikan sebagai berikut:
a. Di tahap awal, Indonesia dibagi ke dalam beberapa wilayah makro (kepulauan besar) yakni Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Maluku & Nusa Tenggara. Dari setiap wilayah makro tersebut dipilih beberapa provinsi. Pemilihan provinsi ditentukan oleh homogenitas ekonomi antar kabupaten dalam provinsi yang sama. Hal ini dilakukan untuk melihat perkembangan kabupaten tersebut setelah pemekaran, dengan asumsi tingkat kesejahteraan yang relatif sama sehingga dapat dilihat perkembangan yang terjadi setelah pemekaran.
b. Dari setiap provinsi terpilih, didaftarkan kabupaten-kabupaten yang mengalami pemekaran daerah. Ini adalah daftar dari kabupaten induk. Dari daftar tersebut dipilih dua atau tiga daerah yang menjadi sampel studi.
c. Pemilihan daerah kontrol ditentukan berdasarkan kedekatan initial endowment dan kultur sosial budaya pada periode sebelum pemekaran. Daerah kontrol adalah kabupaten yang tidak mengalami pemekaran di provinsi yang sama. Melalui proses pemilihan sampel seperti di atas, maka didapatkan daerah sampel studi seperti yang disajikan pada Tabel 2.1 di bawah ini.S


Untuk memperjelas tabel silakan klik tabel

Secara keseluruhan daerah yang masuk dalam sampel studi meliputi empat Wilayah Pulau-Pulau Besar, enam Provinsi dengan 72 Kabupaten/Kota yang di dalamnya terpilih 10 Kabupaten Induk, 10 Kabupaten DOB dan enam daerah kontrol.
Studi ini juga melakukan pendalaman terhadap situasi dan kondisi pemekaran daerah dengan
melakukan wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah (focus group discussion -- FGD) di beberapa daerah terpilih. Empat kabupaten yang menjadi lokasi studi kualitatif ini adalah Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu di Propinsi Sulawesi Selatan, serta Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Lampung Timur di Propinsi Lampung. Studi kasus lapangan ini dilakukan di daerah kabupaten pemekaran yang memiliki kondisi ekstrim dalam menjelaskan output analisis kualitatif. Dari studi kasus lapangan ini didapatkan berbagai informasi yang terkait dengan persepsi, verifikasi, dan hal-hal yang berkenaan dengan dimensi sosial budaya. Diskusi mendalam dan FGD ini dilaksanakan dengan narasumber kelompok pemangku jabatan di daerah dan di pusat, yang terdiri dari instansi pemerintah terkait, DPRD, tokoh masyarakat, akademisi atau pakar pemerintahan dan pembangunan daerah.

Kesimpulan
Secara umum terdapat perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal pemekaran daerah. Pemerintah pusat, ketika merumuskan PP 129/2000 berkeinginan untuk mencari daerah otonom baru yang dapat berdiri sendiri dan mandiri. Oleh karenanya disusunlah seperangkat indikator yang pada hakekatnya berupaya mengidentifikasi kemampuan calon daerah otonom baru. Di sisi lain, ternyata pemerintah daerah, demikian pula para elit lokal dan masyarakat awam, memiliki pendapat yang berbeda. Pemerintah daerah melihat pemekaran daerah sebagai upaya untuk secara cepat keluar dari kondisi keterpurukan. Studi ini menyajikan evaluasi terhadap pemekaran kabupaten yang telah berlangsung di Indonesia sejak tahun 2000 sampai dengan 2005. Melalui penerapan metode control-treatment dan pemilihan sampel secara purposive, studi ini telah membandingkan kinerja pembangunan daerah otonom baru, daerah induk, dan daerah kontrol. Empat aspek utama yang menjadi fokus penelitian dalam studi ini adalah (a) perekonomian daerah, (b) keuangan daerah, (c) pelayanan publik, serta (d) aparatur pemerintah daerah.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa daerah-daerah pemekaran yang menjadi cakupan wilayah studi, secara umum memang tidak berada dalam kondisi awal yang lebih baik dibandingkan daerah induk atau daerah kontrol. Namun setelah lima tahun dimekarkan, ternyata kondisi daerah otonom baru (DOB) juga secara umum masih tetap berada di bawah kondisi daerah induk dan daerah kontrol. Pertumbuhan ekonomi daerah otonom baru (DOB) lebih fluktuatif dibandingkan dengan daerah induk yang relatif stabil dan terus meningkat. Memang pertumbuhan ekonomi daerah pemekaran (gabungan DOB dan daerah induk) menjadi lebih tinggi dari daerah-daerah kabupaten lainnya, namun masih lebih rendah dari daerah kontrol. Hal ini berarti, walaupun daerah pemekaran telah melakukan upaya memperbaiki perekonomian, di masa transisi membutuhkan proses, belum semua potensi ekonomi dapat digerakkan. Sebagai leading sector di daerah DOB, sektor pertanian sangat rentan terhadap gejolak harga, baik harga komoditi maupun hal-hal lain yang secara teknis mempengaruhi nilai tambah sektor pertanian. Oleh karena itu, kemajuan perekonomian DOB sangat tergantung pada usaha pemerintah dan masyarakat dalam menggerakkan sektor tersebut. Porsi perekonomian daerah DOB yang lebih kecil dibandingkan daerah lain dalam perekonomian satu wilayah (propinsi) mengindikasikan, bahwa secara relatif daerah DOB belum memiliki peran dalam pengembangan perekonomian regional.
Meskipun terjadi pengurangan kemiskinan di seluruh daerah, terlihat bahwa pemekaran mendorong pelepasan penduduk miskin dari daerah induk ke DOB. Data menunjukkan bahwa penduduk miskin justru jadi terkonsentrasi di DOB. Dalam konteks yang lebih luas, peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah DOB belum dapat mengejar ketertinggalannya dari daerah induk, meski kesejahteraan DOB telah relatif sama dengan daerah-daerah kabupaten lainnya. Lebih dari itu, indikator pertumbuhan ekonomi telah menunjukkan bahwa daerah pemekaran (daerah baru dan daerah induk) memiliki pertumbuhan yang lebih baik dari rata-rata daerah secara keseluruhan dan daerah kontrol. Dari sisi ekonomi, penyebab ketertinggalan daerah DOB dari daerah induk maupun daerah lainnya adalah keterbatasan sumber daya alam, juga keterbatasan sumber daya manusia (penduduk miskin cukup banyak), dan belum maksimalnya dukungan pemerintah dalam menggerakkan perekonomian melalui investasi publik.
Masalah-masalah yang dihadapi pada aspek ekonomi cukup beragam dan belum kondusif dalam menggerakkan investasi, pola belanja aparatur, dan pembangunan yang belum sepenuhnya mendukung perekonomian lokal karena masalah tempat tinggal aparatur, pemilihan ibukota kabupaten yang belum dapat menciptakan pusat perekonomian di DOB, keterbatasan berbagai infrastruktur penunjang ekonomi maupun penunjang pusat fasilitas pemerintahan. Secara umum kinerja keuangan daerah otonom baru (DOB) lebih rendah dibandingkan daerah induk. Selama lima tahun kinerja keuangan DOB cenderung konstan, sementara kinerja keuangan daerah induk cenderung meningkat. DOB memiliki ketergantungan fiskal yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah induk, dengan kesenjangan yang semakin melebar. Pemekaran juga mendorong ketergantungan yang lebih besar di daerah pemekaran dibandingkan dengan daerah kontrol maupun kabupaten lain pada umumnya.
Optimalisasi sumber-sumber PAD di daerah DOB relatif lebih rendah dibandingkan daerah induk. Sementara itu, jika dibandingkan dengan daerah kontrol maupun rata-rata daerah, optimalisasi PAD di daerah pemekaran relatif lebih rendah walaupun perbedaannya cukup rendah. Dapat dikatakan bahwa sumbersumber ekonomi yang juga menjadi sumber-sumber PAD di daerah kontrol atau kabupaten lainnya pada umumnya sudah dalam kondisi mantap (steady state). Sebagai daerah baru, DOB memiliki fokus yang relatif lebih besar dibandingkan daerah induk dalam hal belanja-belanja yang bersifat investasi daripada konsumtif. Karena itu pula, kontribusi belanja pemerintah terhadap PDRB juga lebih besar di DOB dibandingkan daerah induk, namun di bawah daerah kontrol. Peran anggaran pemerintah daerah pemekaran dalam mendorong perekonomian relatif kurang optimal dibandingkan daerah kontrol, walaupun secara keseluruhan masih di atas rata-rata kabupaten pada umumnya.
Secara umum kinerja pelayanan publik di DOB masih di bawah daerah induk, walaupun kesenjangannya relatif kecil. Kinerja pelayanan publik di DOB plus daerah induk secara umum masih berada di bawah kinerja pelayanan publik di daerah kontrol maupun rata-rata kabupaten. Selama lima tahun terakhir, di semua kategori daerah terlihat kinerja pelayanan publik yang cenderung menurun. Masalah yang dihadapi dalam pelayanan publik ialah (i) tidak efektifnya penggunaan dana, terkait dengan kebutuhan dana yang tidak seimbang dengan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang relatif sama, (ii) ketersediaan tenaga pelayanan pada masyarakat karena perkembangan ekonomi dan fasilitas yang terbatas, dan (iii) masih terbatasnya pemanfaatan layanan publik publik yang diberikan. Pertumbuhan guru untuk pendidikan dasar di daerah DOB lebih tinggi dibandingkan daerah induk maupun daerah kontrol, meskipun masih lebih rendah dibandingkan rata-rata kabupaten. Di sisi lain, daya tampung sekolah mengalami kecenderungan menurun. Penurunan di DOB lebih cepat dibandingkan di daerah induk.
Ketersediaan fasilitas kesehatan di daerah DOB dalam perkembangannya tidak jauh berbeda dengan daerah induk. Pemekaran daerah secara nyata mendorong pemerataan pelayanan kesehatan, terutama di bidang sarana fisik. Dari sisi ketersediaan tenaga kesehatan, daerah DOB masih berada di bawah daerah induk dengan kesenjangan yang relatif besar. Pada aspek infrastuktur, kualitas jalan di daerah induk masih lebih baik dibandingkan di daerah DOB. Selain itu kualitas jalan di daerah pemekaran lebih rendah daripada kualitas jalan di daerah kontrol dan rata-rata kabupaten. Hal ini menandakan, meski upaya pembangunan infrastruktur tetap dilakukan perkembangannya jauh lebih cepat di daerah bukan pemekaran. Kinerja aparatur secara keseluruhan menunjukkan fluktuasi di DOB dan daerah induk, meskipun dalam dua tahun terakhir posisi daerah induk masih lebih baik daripada daerah DOB. Jumlah aparatur cenderung meningkat selama lima tahun pemekaran. Kualitas aparatur di DOB masih sangat rendah, meskipun data menunjukkan adanya peningkatan persentase aparat dengan pendidikan minimal sarjana. Daerah DOB belum menunjukkan kinerja sesuai dengan yang diharapkan, karena pada masa transisi tidak ada desain penempatan aparatur yang benar-benar baik. Di samping itu, pembatasan jumlah aparatur yang formasinya ditentukan oleh pusat juga ikut menentukan ketersediaan aparatur. Masalah-masalah yang ditemui pada pengelolaan aparatur di antaranya: adanya ketidaksesuaian antara aparatur yang dibutuhkan dengan ketersediaan aparatur yang ada, kualitas aparatur yang rendah, aparatur daerah bekerja dalam kondisi underemployment, yakni bekerja di bawah standar waktu yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Saran
Keputusan untuk memekarkan suatu daerah harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Sangat penting untuk mempersiapkan suatu daerah yang menginginkan pemekaran. Periode persiapan ini perlu disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Dalam periode masa persiapan yang bisa jadi mencapai 10 tahun, maka pemerintah pusat dan daerah induk dapat melakukan fasilitasi dan persiapan hal-hal berikut:
• pengangkatan dan pengalihan aparatur pemerintahan sesuai fungsi dan kapasitasnya,
• penyiapan infrastruktur perekonomian dan fasilitas pemerintahan, serta
• infrastruktur penunjang bagi aparatur pemerintah beserta keluarganya.
Setelah seluruh persiapan dan fasilitasi tersebut diberikan dalam waktu yang memadai, maka evaluasi selanjutnya akan menentukan apakah daerah tersebut memang akhirnya layak untuk dimekarkan atau tidak.
Selain persiapan dan pemberian fasilitasi, sumber daya yang adapun perlu diatur pembagiannya dengan seksama. Sumber daya tersebut meliputi:
• sumber daya alam,
• sumber daya manusia, dan
• infrastruktur penunjang lainnya.
Pembagian yang tidak merata atau memiliki kesenjangan yang terlalu besar akan berimplikasi pada tidak adanya perubahan yang signifikan, khususnya di daerah DOB. Oleh karena itu, peran pemerintah pusat dalam pembagian daerah pemekaran perlu dipertegas dalam perundangan yang berlaku. Pada aspek perekonomian daerah DOB, program-program pemerintah sebaiknya diarahkan pada upaya mendukung sektor utama yakni pertanian dalam arti luas, baik ketersediaan infrastuktur penunjang maupun tenaga-tenaga penyuluh di lapangan, dan lain sebagainya. Pengembangan sektor-sektor lainnya diarahkan pada upaya mendukung sektor utama sehingga percepatan di daerah pemekaran dapat terwujud.
Di sektor pendidikan, studi yang lebih mendalam diperlukan untuk melihat penurunan angka partisipasi sekolah di daerah baru.Secara nyata diperlukan adanya perubahan pola belanja aparatur dan pembangunan di kabupaten setempat, sehingga dalam jangka pendek akan tercipta permintaan barang dan jasa yang dapat mendukung terciptanya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. Pola belanja aparatur juga diarahkan secara langsung pada peningkatan pelayanan publik, baik secara fisik maupun non fisik. Sehingga dalam jangka panjang keuangan pemerintah sendiri akan meningkatkan pendapatan dan kemandirian fiskal. Soal aparatur pemerintah daerah, upaya-upaya harus lebih diarahkan pada peningkatan kualitas sesuai dengan kompetensi aparatur yang diperlukan oleh daerah, mulai dari tahap penerimaan hingga mutasi. Di samping itu, diperlukan adanya penataan aparatur pada daerah transisi. Untuk itu secara nasional perlu dibuat semacam grand design penataan aparatur, khususnya aparatur pada level pemerintah daerah. Dengan kata lain, diperlukan ketegasan dari Pemerintah Pusat dalam hal pemekaran suatu wilayah. Ketegasan juga diperlukan dalam hal evaluasi terhadap wilayah yang saat ini sudah memiliki status otonom. Hal ini tidak berarti re-sentralisasi, namun memang merupakan tugas Pemerintah Pusat untuk menjaga kualitas proses pembangunan, dan bukan hanya menyetujui keinginan daerah. Hal ini tidak saja mencerminkan pembangunan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, dan merupakan amanat dari RPJMN 2004-2009. Diperlukan suatu evaluasi mendalam yang dapat menempatkan suatu daerah pemekaran, baik DOB maupun induk, dalam kategori daerah pemekaran yang berhasil atau kurang berhasil. Peran dari evaluasi bisa lebih dari sekedar menggabung daerah. Evaluasi seyogyanya juga menyediakan pedoman bagi daerah untuk mendukung mereka mencapai tujuan pembangunan nasional dan pembangunan daerah.

Label: , ,